Mengapa banyak band papan atas bubar?

Sejumlah grup musik papan atas bubar di tengah jalan. Setidaknya terjadi pergantian personel. Sebut saja Dewa 19, Peterpan, Jikustik, dan belakangan mencuat isu bubarnya ST 12. 

Pengamat musik tanah air, Bens Leo, mengatakan, banyak personel grup musik yang tengah naik daun memiliki pekerjaan sampingan. Kondisi ini secara tidak langsung akan memengaruhi performa grup musik yang menaunginya. 

Efek selanjutnya, grup musik itu tetap tumbuh dengan penurunan performa. Atau memicu hengkangnya personel yang merasa sudah memiliki nama besar untuk mandiri. Seperti Once, yang melepas posisi vokalis di grup musik Dewa. Atau isu hengkangnya Pepep dari ST 12. 

"Yang bermasalah itu biasanya manajemen band-nya. Atau industri musiknya yang sudah tidak bisa memberikan para musisi ini kenyamanan. Atau label rekamannya yang tidak baik lagi," ujar Bens, saat ditemui dalam soft launching 'Avanindra Band', di kawasan Senayan, Jakarta. 

Menanggapi isu bubarnya ST 12, Bens menilai bahwa band melayu modern yang telah memiliki nama di Asia Tenggara itu, harus segera memberikan klarifikasi. Jika sang drumer, Pepep, mengundurkan diri, tentu saja harus segara mencari drummer baru. 

"Tapi konsekuensinya cukup tinggi daripada mengganti pemain gitar. Drum ini punya 'beat' yang mempengaruhi musik ST 12. Saya beri contoh Koes Plus, Nomo diganti Moery, Koes Plus berubah jadi ngerock musiknya," ujar Bens. 

Bens melihat, faktor ketidaksiapan manajemen yang seringkali memicu retaknya kekompakan suatu kelompok musik. "Dhani membentuk Republik Cinta Manajemen, tapi Dewa tidak terurus. Mundurnya Once, membuat eksistensi Dewa dipertanyakan. Dhani bagus, tapi yang terjadi, Dewa tidak bisa mempertahankan Once," ujarnya. 

Bens lantas memberi contoh baik saat Yovie Widianto yang telah memiliki Kahitna membentuk Yovie and The Nuno. Ternyata personel Kahitna bisa menerimanya sebagai inovasi Yovie. Kahitna dan Yovie and The Nuno tetap eksis.



Sumber : vivanews

VIVA NEWS

Curhat Curhit